Rabu (19/01/2022) Warna cokelat mendominasi ruangan itu, dua ABH duduk dengan tatapan pasrah, setidaknya peci putih yang dikenakan salah seorang ABH sedikit menyirnakan kekosongan pada wajah keduanya. Hari ini dua orang Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kelas I Jakarta Timur Utara, Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta, Lely Mareyke Pajouw dan Yulinar Dwi Rahayu melakukan pendampingan ABH dalam upaya Diversi di Polres Jakarta Utara. Mereka duduk berjejer bersama penyidik, dan penasehat hukum. Para pion sistem penegakan hukum itu tidak sedang beradu pantun, melainkan sedang menjalankan upaya penyelesaian perkara di luar Pengadilan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Adapun alasan sampai ada upaya Diversi dalam perkara yang ditangani oleh dua PK ahli muda Bapas Jakarta Timur Utara, Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta ini berawal dari peristiwa pengeroyokan di Tanjung Priok Jakarta Utara 1 Januari silam. Saat itu almanak baru saja berganti beberapa jam sebelumnya, bahkan sebagian besar warga ibu kota masih banyak yang belum menghabiskan persediaan petasan mereka. Sontak di sekitar jalan Ende kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara terjadi keributan antar beberapa warga. Seorang anggota kepolisian yang kebetulan berada di lokasi kejadian berusaha melerai, namun naasnya ia justru malah dikeroyok oleh sejumlah orang yang sedang geram tersebut. Didalam keterangannya kepada PK, kedua ABH menjelaskan mengenai peran mereka. Kedua ABH tersebut mengakui terlibat pengeroyokan dan sempat melakukan pemukulan dengan tangan kosong di bagian pundak korban.
Sepintas kita teringat bahwa pekerjaan polisi adalah pekerjaan yang riskan dan berbahaya, kita juga teringat para Legislator negara kita di saat pembahasan RUU Sistem Peradilan Pidana Anak di Parlemen. Kita bisa melihat sebagian besar dari mereka bukanlah penganut filosofi Pesimisme-nya Schopenhauer, karena dalam benak mereka masih terdapat keyakinan yang besar bahwa perdamaian masih dapat tercapai dalam perkara-perkara yang menyeret anak sebagai pelaku. Dan, seringkali para penegak hukum yang orang dewasa itu, mencoba menyelami pandangan sebagian anak remaja di pedalaman-pedalaman kota besar, mereka, dengan kebiasaan meng-genjreng gitar tanpa memikirkan keharmonisan nada. Kita juga teringat ada banyak anak-anak usia belasan yang diam-diam menganggap hidup tidak harus 'biasa saja', dan melambangkan hal-hal 'normal' sebagai simbol kemapanan yang kasar, kaku, dan membosankan. Tahapan pubertas yang mereka alami menyebabkan kebingungan dan kecemasan, kedudukan yang membuat mereka merasa frustasi tersebut bisa berbuah letupan apabila mereka merasa ditindas.
Pada akhirnya Diversi dalam perkara ini tidak tercapai, karena korban; Walaupun secara prinsip memaafkan ABH, namun menghendaki agar proses hukum tetap dilanjutkan. Maka hari ini kata-kata "Nabi pun pada akhirnya berdamai" sedang tidak laku. Ya. Itu adalah kata-kata yang pernah diucapkan mendiang Yasser Arafat ketika berkunjung ke Indonesia tahun 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar